Ikhsan Risfandi: "Mengulas Puisi Nyanyian Anak Petani, Karya Arnita."

( Petani dan kehidupannya )

7detik.com - Sastra Puisi - Perjuangan Hidup dalam Hitam Putih Realita


1/

NYANYIAN ANAK PETANI

Arnita

Di mata anak-anak 
Pergantian musim serupa reinkarnasi 
Mereka tidak melihat apa-apa kecuali peluh
Dalam ingatan, pikiran dihentikan oleh kata-kata 
"Seorang petani tidak pernah dianggap hebat"
Setiap perjuangan melepaskan simpul begitu menyesakkan
Sementara harga-harga memotong mimpi menjadi bagian partikel terkecil
Anak petani tetap bernyanyi
Menembangkan kidung perih seraya menggambar cahaya bumi dengan arsir penuh warna
Tapi sayang, warna itu perlahan pudar tergerus keringat dan air mata
Hanya nampak dua warna hitam dan putih
Tapi semangat terus menyala 
Membakar masa silam yang penuh ratapan.
Maka kembalilah aroma wangi lumpur adalah harum kehidupan.

2024.
------------------------------------------------------------------------------
Puisi Nyanyian Anak Petani karya Arnita benar-benar mengena banget, terutama bagi kita yang sering lupa betapa susahnya hidup petani. Dengan gaya bahasa yang puitis dan sarat makna, puisi ini berhasil menggambarkan kehidupan anak-anak petani yang harus menghadapi kenyataan hidup yang berat. Dari setiap bait, Arnita membawa kita menyelami perjuangan, harapan, dan kepahitan yang harus mereka terima. Yuk, kita bahas bait demi bait dan lihat bagimana puisi ini mengemas tema yang sebenarnya sederhana, tetapi penuh emosi.

Bait 1:
Di mata anak-anak
Pergantian musim serupa reinkarnasi
Mereka tidak melihat apa-apa kecuali peluh

Di bait pertama ini, kita langsung disuguhi gambaran anak-anak petani yang melihat pergantian musim bukan sebagai hal yang indah, tetapi lebih seperti siklus yang terus-menerus berulang. Mereka melihat musim sebagai sesuatu yang melelahkan, serupa roda kehidupan yang tidak mengenal kata berhenti. 

Metafora “reinkarnasi” di sini bukan berarti ada pembaruan, malah mereka hanya melihat “peluh” atau keringat, simbol dari kerja keras dan kelelahan. Jadi, bagi mereka, pergantian musim bukan soal tumbuhan yang mekar atau panen yang melimpah, tapi tentang kerja keras yang terus berulang tanpa ada jeda.

Bait 2:
Dalam ingatan, pikiran dihentikan oleh kata-kata
"Seorang petani tidak pernah dianggap hebat"

Bait kedua ini membicarakan soal perasaan terpinggirkan. Anak-anak petani hidup dengan kalimat yang membekas di kepala mereka, “seorang petani tidak pernah dianggap hebat.” Ini adalah kritik sosial yang tajam. Meski petani punya peran penting dalam masyarakat, mereka kerap kali tidak dihargai atau dipandang sebelah mata. Kata-kata ini seperti pukulan telak yang membuat mereka terus-terusan merasa kecil. Untuk kita yang hidup di kota, mungkin kita jarang memikirkan bagaimana kerasnya hidup petani, tapi buat anak-anak petani, kata-kata ini menghantui dan jadi bagian dari identitas mereka.

Bait 3:
Setiap perjuangan melepaskan simpul begitu menyesakkan
Sementara harga-harga memotong mimpi menjadi bagian partikel terkecil

Di bait ini, Arnita memperlihatkan gimana beratnya hidup petani lewat metafora “melepaskan simpul.” Simpul ini mungkin menggambarkan masalah-masalah hidup yang terus membelit mereka—mulai dari hasil panen yang tidak sesuai harapan, cuaca yang tak bisa diprediksi, sampai harga-harga yang terus naik. Simpul ini tidak mudah dilepaskan, malah membuat mereka “menyesakkan,” seperti sedang terjebak dalam masalah yang tidak ada habisnya.

Lalu, kalimat “harga-harga memotong mimpi menjadi bagian partikel terkecil” itu pun menyakitkan. Harga-harga yang semakin tinggi, membuat mimpi anak-anak petani semakin kecil, terpecah jadi partikel yang nyaris tidak terlihat. Ini adalah realitas pahit tentang bagaimana ekonomi dapat  menghancurkan mimpi-mimpi besar menjadi serpihan yang sangat kecil.

Bait 4:
Anak petani tetap bernyanyi
Menembangkan kidung perih seraya menggambar cahaya bumi dengan arsir penuh warna

Meski hidup mereka keras, anak-anak petani masih punya semangat. Mereka “tetap bernyanyi,” meskipun yang mereka nyanyikan adalah “kidung perih.” Di sini, Arnita menunjukkan sisi optimis mereka. Meski nyanyian itu penuh rasa sakit, mereka tetap mencoba menciptakan sesuatu yang indah dari hidup mereka. 

Metafora “menggambar cahaya bumi dengan arsir penuh warna” itu keren banget, karena menggambarkan bagaimana anak-anak ini berusaha mengisi hidup mereka dengan mimpi dan harapan. Warna-warna yang mereka coba gambar adalah simbol dari semangat mereka untuk tetap melihat hal-hal positif, meskipun hidup terus menekan.

Bait 5:
Tapi sayang, warna itu perlahan pudar tergerus keringat dan air mata
Hanya nampak dua warna hitam dan putih

Namun, di bait ini kita melihat realitas yang kembali menghantam. Warna-warna yang tadi mereka coba gambar, perlahan “pudar,” hilang karena keringat dan air mata. Ini adalah gambaran yang jelas tentang bagaimana hidup yang keras dapat menghapus semangat dan harapan. Keringat (kerja keras) dan air mata (kesedihan), lambat laun mengubah hidup mereka jadi monokrom, hanya ada hitam dan putih. Hitam dan putih di sini mungkin melambangkan bagaimana hidup mereka akhirnya hanya tentang bertahan dan bekerja, tanpa ada lagi ruang bagi mimpi-mimpi besar atau warna-warna cerah yang dulu mereka bayangkan.

Bait 6:
Tapi semangat terus menyala
Membakar masa silam yang penuh ratapan.

Meski hidup mereka penuh tantangan, bait ini kembali memberi kita harapan. “Semangat terus menyala,” meskipun semua terasa hitam putih. Anak-anak petani ini tidak ingin tenggelam dalam kesedihan masa lalu. Mereka membakar semua kenangan buruk, seolah ingin melupakan masa lalu yang penuh kesedihan dan ratapan. Di sini, kita melihat kekuatan mereka untuk terus maju, meskipun hidup tidak pernah mudah. Semangat yang tersisa ini jadi satu-satunya hal yang mereka punya, dan itu cukup bagi mereka untuk terus berjalan.

Bait 7:
Maka kembalilah aroma wangi lumpur adalah harum kehidupan.

Bait terakhir ini sangat menyentuh. “Aroma wangi lumpur,” adalah metafora yang sempurna untuk menggambarkan kehidupan petani. Lumpur, yang bagi sebagian orang mungkin dianggap kotor dan tidak menyenangkan, justru menjadi simbol kehidupan untuk anak-anak petani. Di sinilah hidup mereka berakar, di tanah yang becek dan penuh lumpur. Bagi mereka, lumpur bukanlah hal yang menjijikkan, tetapi justru “harum kehidupan.” Lumpur adalah tempat mereka mencari nafkah, tempat mereka tumbuh, dan tempat mereka menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

Hidup Dalam Warna Monokrom, Namun Semangat Tetap Menyala.

Puisi Nyanyian Anak Petani ini berhasil membawa kita masuk ke dalam kehidupan anak-anak petani yang penuh dengan perjuangan. Dari bait pertama sampai terakhir, kita dibawa melihat bagaimana hidup yang keras ini memengaruhi mereka—dari mimpi-mimpi yang terpecah jadi partikel kecil, sampai kenyataan yang berubah menjadi hitam putih. 

Tetapi, yang membuat puisi ini kuat adalah semangat yang terus bertahan. Meski warna-warna pudar, meski air mata dan keringat terus mengalir, anak-anak petani ini tidak pernah kehilangan semangat. Arnita memberi kita pesan bahwa hidup mereka mungkin sederhana, bahkan berat, tetapi di dalam kesederhanaan dan lumpur yang becek itu, terdapat kehidupan yang nyata dan penuh makna.

Oktober, 2024
                                                                      Penulis:
Ikhsan Risfandi aka IRZI Lahir di Jakarta 1985. Eks gitaris Jazz yang banting gitar nulis puisi Jess & Beatawi juga sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara, 2019. Saat ini bergiat di Sindikat Sastra, Biasalah…, sesekali nongkrong di Kolektif Atelir Cermai, Rawamangun serta tengah menyiapkan dua buku puisi berikutnya Repertoar Nokturnal & Suara Berisik dari Depan Langkan.